Ketua Satupena, Ph.D. Nacil Tamara mengungkapkan bahwa sejarah sastrawan di negeri ini telah menyaksikan kecenderungan yang berbeda dari berbagai genre, ideologi dan sikap politik, dan mereka sering memiliki konflik terbuka.
Menurut Nacil, sulit menyatukan para penulis dalam satu forum yang berbagi kreativitas, namun di sisi lain, para penulis harus bersatu dalam sebuah perkumpulan para ahli untuk melindungi kepentingan mereka.
Penulis juga masih menghadapi masalah ekonomi yang dilanda pelanggaran hak cipta, pajak tinggi, penyitaan buku, dan krisis besar-besaran akibat Corona.
Pelan tapi pasti, penulis kini berubah, namun ia juga mengambil sikap berbeda terhadap berbagai isu sosial dan politik, termasuk pandangan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden K tentang pemerintahan.
Sastrawan Indonesia
Salah satu bukti persatuan sastrawan Indonesia adalah terbitnya buku bersama "Kemanusiaan di Era Corona", kumpulan ide dari 110 penulis yang disponsori oleh Masyarakat Satu Pena tentang berbagai isu terkait virus corona. Kejadian luar biasa.
“Saya sangat senang buku ini terbit bersamaan dengan puncak peringatan Hari Buku Internasional,” kata Nacil Tamara dalam siaran persnya, Minggu (17/5).
Presiden Balai Pustaka, Achmad Fachrodji didampingi Kabag Humas dan Media, Fakhrunnas MA Jabbar, ide dan proses penerbitan buku "Kemanusiaan di Era Corona" ini sempat melalui perdebatan serius dan panjang di tahun 2017 ini.
Nacil yang mengawali karir sebagai jurnalis di Sinar Harapan dan memimpin Republika setiap hari, juga dikenal sebagai dosen dan penulis buku dan kini menjadi mahasiswa pascasarjana di Universitas Gadjah Mada (UGM).
Mempersatukan Indonesia
Selain mempersatukan sastrawan Indonesia, ia menegaskan bahwa buku “Kemanusiaan di Era Corona” adalah “Memori Rakyat Indonesia”.
Untuk sebuah buku yang diterbitkan oleh penerbit Balai Pustaka, Nacil mengatakan bahwa terwujudnya buku ini merupakan upaya bersatu padu dari semua penulis Satupena untuk mengumpulkan ide-ide jelek untuk memecahkan masalah.
“Di tengah masyarakat Indonesia yang menghadapi kesulitan akibat mewabahnya corona, semua orang secara sukarela bekerja untuk sesuatu yang bernilai,” ujarnya.
Buku "Kemanusiaan di Era Corona" tebalnya hampir seribu halaman. Buku ini merupakan sumbangan tulus dari 110 penulis Satu Pena dari berbagai disiplin ilmu, bergenre penulisan nonfiksi dalam bentuk esai, terutama fiksi dalam bentuk bahasa Indonesia.
Penulis pemenang penghargaan adalah ilmuwan, guru, penulis biografi, penulis anak-anak, peneliti, dan penulis profesional yang bekerja sebagai ilmuwan dari segala usia.
Penulisnya antara lain Alamaiani, Ajumardiazura, Nasirtamara, Heraspolos Doyo, Akmarna Seri Basral, Komaldin Hidayat, Tommy F. Aui, Mickes Susant, Asmanadia, Murti Nanta, Conilla Hakundini, Ilender, Fony Poik. , (OL-09)